Pertanian Organik

Pertanian Organik

Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.

Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura sayuran dan buah (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah.

Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.

Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan.

Selain itu juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan. Serta memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.

Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.

Pertanian tradisional dalam berbagai bentuk, yang telah dilakukan sejak ribuan tahun di seluruh dunia, merupakan pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik.

Pertanian organik mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai ekologi dan teknologi modern mengenai praktik pertanian tradisional berdasarkan proses biologis yang terjadi secara alami.

Metode pertanian ini dipelajari di dalam bidang ekologi pertanian. Pertanian konvensional menggunakan pestisida dan pupuk sintetik, sedangkan pertanian organik membatasinya dengan hanya menggunakan pestisida dan pupuk alami.

Prinsip metode pertanian ini mencakup rotasi tanaman, pupuk hijau/kompos, pengendalian hama biologis, dan pengolahan tanah secara mekanis.

Tanaman yang lebih unggul dan tangguh dikembangkan melalui pemuliaan tanaman dan tidak dimodifikasi menggunakan rekayasa genetika.

Tingginya keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu ciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan monokultur.

Dalam ekologi pertanian diketahui bahwa polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu lahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.

Penanaman berbagai jenis sayuran mendukung berbagai jenis serangga yang bersifat menguntungkan, mikroorganisme tanah, dan faktor lainnya yang menambah kesehatan lahan pertanian.

Keanekaragaman tanaman pertanian membantu lingkungan untuk mempertahankan suatu spesies yang dekat dengan lahan pertanian agar tidak punah.

Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti pupuk hijau dan kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya.

Dengan mengurangi pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.

Sinkronisasi diperlukan agar tumbuhan mendapatkan nitrogen yang cukup pada waktu yang tepat. Hal ini menjadi salah satu tantangan di dalam pertanian organik.

Residu tanaman dapat dikembalikan ke tanah sehingga membusuk dan memberikan nutrisi bagi tanah. Dalam banyak kasus, pengaturan pH diperlukan dengan menggunakan kapur pertanian dan sulfur.

Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan legum sebagai tanaman penutup tanah.

Penelitian dalam ilmu biologi pada tanah dan mikroorganisme yang hidup di dalamnya telah membuktikan manfaat bagi pertanian organik.